Filosofi Lima Jari - Tentang Cita-Cita

image source : https://plus.google.com/110285599672040025621

Suatu hari di sebuah SMA, seorang guru masuk perlahan ke dalam sebuah kelas. Sang guru nampak memikirkan sesuatu yang sangat merisaukannya. Sementara para siswa seolah hanya menunggu sang guru itu melakukan sesuatu hal. Sang guru pun bertanya setelah menghela nafasnya yang cukup panjang.

"Kalian semua, sebenarnya kalian mempunyai cita-cita atau tidak?"

Tampak wajah para siswa yang kaget dengan
pertanyaan itu, namun setelah terkaget beberapa detik para siswa pun kembali menunjukan mimik yang biasa saja. Mereka seolah tak menggrubis pertanyaan dari sang guru itu. Maklum, para siswa itu adalah berasal dari sekolah pinggiran. sebuah sekolah yang tak mempunyai banyak murid. Bukan pula sekolah favorit yang mempunyai banyak siswa pandai. Tentang cita-cita, mereka seolah menganggapnya sesuatu yang hal yang biarlah mengalir begitu saja. Mereka rata-rata dari keluarga sederhana di desa, bukan kumpulan anak-anak pejabat maupun konglomerat.

Sang guru pun sudah menduga bahwa
para siswanya tidak terlalu tertarik untuk membahas sebuah cita-cita. Namun dia tidak patah arah untuk membangunkan siswa-siswanya dari buaian ketakutan untuk berani bermimpi. Sang guru pun berkata dengan keras,

"Kalian semua, coba angkat telapak tangan kanan kalian. Letakkan sekarang di depan kalian."

Para siswa pun awalnya ogah-ogahan saja, namun karena beberapa siswa mulai melakukannya. Maka satu demi satu siswa yang lain mengikutinya pula.

"Sekarang pegang jempol kalian." Para siswa pun mengikutinya.

"Jempol itu ibaratkan adalah kakek nenek kalian. Mengerti?" Guru pun melanjutkan penjelasannya ketika para siswa mulai tertarik memegang jempol-jempolnya.

"Sekarang pegang jari telunjuk tepat di bawahnya, itu adalah bapak ibu kalian. Lalu yang jari tengah itu adalah diri kalian." Para siswa pun semakin penasaran, sebenarnya apa yang ingin disampaikan oleh sang guru.

"Jari manis itu adalah anak kalian nanti, lalu kebawah lagi jari kelingking itu adalah cucu kalian nanti. Begini anak-anak, bapak mau tanya namun coba sambil pegang jempol kalian lagi. Apa pekerjaan kakek nenek kalian dulu? Apa kira-kira? Ada yang tahu?"

"Petani Pak." jawab salah seorang siswa.
"Buruh tani Pak!" Sahut murid yang lain.

"Ada yang lain?"

"Tukang ojek pak, tukang bangunan pak, kuli serabutan pak, pedagang di pasar pak" Mulailah terdengar banyak pekerjaan yang disebutkan para siswa.

"Lalu kira-kira apa pekerjaan ayah ibu kalian sekarang?." Tanya sang guru.

"Hemmm ya kurang lebih sama sih Pak dengan kakek."
"Iya Pak, memang itu-itu saja yang terjadi" jawab para siswa.

"Jadi jari telunjuk biasanya mengikuti jari jempol bukan?" Sang guru menegaskan sesuatu.

Para siswa mulai hening dan memikirkan yang terasa sebuah pesan yang penting, ayah ibu mereka ternyata pekerjaanya tak jauh beda dengan kakek nenek mereka. Ada yang buruh tani, buruh serabutan, kuli dan lain-lain.

"Sekarang giliran kalian, giliran jari tengah. Apakah kalian ingin sama seperti jari telunjuk? Apa tetap mengikuti apa yang telah dikerjakan jari telunjuk? Atau kalian ingin mengubahnya menjadi lebih baik. Tidak sama terus menerus dari kakek nenek kalian?" Sang guru nampak terenyuh mengatakan hal itu. sementara siswa-siswa mulai berfikir lebih dalam.

"Jika kalian masih sama, sama seperti ayah ibu kakek nenek kalian. Maka, kemungkinan nanti jari manis dan jari kelingking nasibnya akan sama pula. Bahkan jika ada jari-jari lain di bawah jari kalian itu, mungkinkah akan tetap sama? Atau kalian mau mengubahnya? Mengubah memperbaiki keadaan keluarga kalian, derajat keluarga kalian. Apa kalian akan membiarkannya???"

Siswa-siswa pun mulai sadar bahwa bukan orang lain yang lebih peduli untuk perubahan keluarganya, melainkan jari tengah itu sendiri. Diri mereka itu sendiri lah yang sepantasnya merubahnya. Keluarga mereka tetap akan berlanjut sedemikian rupa, jika sang penerus tidak pernah ada yang mau memperbaikinya. Keluarga mereka tetaplah menjadi seperti begini-begini saja, jika mereka tidak punya semangat untuk mengharumkannya. Mereka pun diam, mereka sadar memang cita-cita dan harapan itu sangatlah penting. Hidup memang perlu tujuan dan semangat, tak sekedar mengikuti arus air. Bisa-bisa kita akan terbentur oleh bebatuan jika terombang-ambing dalam aliran. Mereka pun hari itu mendapat pelajaran yang sangat luar biasa dari guru itu, termasuk aku. Di sebuah sekolah kecil yang masih baru berusia dua tahun, SMA Muhammadiyah 3 Kayen. Berkat cerita dari sang guru itu, aku pun tetap semangat mengejar harapanku untuk kuliah. Walau miskin, walau berasal dari keluarga tak punya, walau minim prestasi. Alhamdulillah Allah mewujudkannya, aku kuliah mendapat beasiswa bidikmisi di Universitas Negeri Semarang. Maka semangatlah mengejar cita-citamu, mungkin dari mewujudkan harapanmu itu maka engkau bisa mengubah dan memperbaiki kondisi keluargamu. Hingga besok nanti akan bisa membanggakannya.

*Cerita ini terinspirasi dari pengalaman bersama Sang Guru, beliau adalah bapak Ali Nordin. Guru yang selalu semangat memotivasiku. Bagikanlah jika bisa memotivasi orang lain.

0 Response to "Filosofi Lima Jari - Tentang Cita-Cita"

Post a Comment

BERLANGGANAN GRATIS VIA EMAIL

Dapatkan Artikel Terbaru Dari AJP Creations Melalui Email Anda. Jangan lupa cek kotak masuk di emailnya untuk mengaktifkan fitur pengiriman, setelah klik berlangganan di bawah ini.